Selasa, 05 Juni 2012

Apa itu Al Jarh wa At Ta'dil ?


         Secara bahasa, dengan mem-fathah-kan huruf jim (dibaca ja); jarh artinya adalah akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Kalau di-dhammah-kan (dibaca ju) jurh dikatakan sebagai isim dari kata kerjanya.

Adapula yang mengatakan jurh berkaitan dengan jasmani yang diakibatkan oleh senjata, sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang menimbulkan bekas secara maknawi atau mengenai sisi kehormatan seseorang.

Secara istilah, jarh adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolak atau dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadits.

         Adapun ta’dil secara bahasa sama artinya dengan taswiyah, yaitu mengukur atau menimbang sesuatu dengan yang lainnya. Secara istilah mempunyai pengertian yang sebaliknya dari jarh.

         Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani rahimahullah mengatakan bahwa ilmu al-jarh wat ta'dil ialah ilmu yang mempelajari tentang al-jarh dan at-ta’dil terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, sekaligus untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut. (1)

        Kritikan yang dilakukan para pakar ilmu hadits terhadap suatu hadits berkaitan dengan dua hal penting, yaitu berkaitan dengan para rawi (yang menyampaikan) hadits dan matan (redaksi) hadits tersebut. Sehingga dari sini, jika kriteria rawi tidak sesuai dengan yang diharapkan maka riwayatnya ditolak. Begitu pula jika redaksi hadits itu sendiri menimbulkan sesuatu yang diragukan untuk diterima, inipun ditolak (2). Mereka mengatakan: “Shahihnya isnad (mata rantai periwayatan suatu hadits) belum tentu shahih matannya (redaksinya).” (Manhajun Naqdi ‘indal Muhadditsin hal 20-21).

        Diantara landasan syariat yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan al-jarh wat ta’dil ini adalah:

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)

           Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang wajibnya tabayyun, tatsabbut (meneliti kebenaran berita) dari seseorang yang fasik. Dan mafhum3 dari ayat ini, semua berita dari orang yang tsiqah (terpercaya) diterima.
Kemudian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dijadikan dasar (hukum) tentang perlunya penilaian dhabith (kekuatan hafalan):

 
          “Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami, kemudian dia menyampaikan (kepada orang lain) sebagaimana yang dia dengar. Bisa jadi orang yang diberi kabar darinya lebih paham dari dia (yang mendengar langsung).” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya dari Jubair bin Muth’im, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal dan lain-lain. Dikatakan oleh At-Tirmidzi: “Hadits Hasan.”) (4)

             Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (1/83) mengatakan: “Jadi, al-jarh (kritik) terhadap para rawi yang menukilkan suatu berita atau riwayat adalah boleh. Bahkan wajib, berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena adanya kebutuhan darurat yang memang mengharuskannya, demi melindungi syariat yang mulia ini.”
               Kemudian beliau melanjutkan: “Wajib atas seorang kritikus untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam men-jarh (mengkritik) seseorang. Perlu adanya tatsabbut (meneliti kebenaran berita), berhati-hati, tidak bermudah-mudah dalam men-jarh orang yang (sebetulnya) selamat (bersih) dari jarh (cacat). Atau merendahkan orang-orang yang tidak tampak kekurangannya, karena kerusakan akibat jarh ini sangat besar. Dan dia akan menggugurkan semua hadits atau riwayat dari rawi tersebut, yang tentunya akan menggugurkan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (5)

              Adapun pembahasan lebih lanjut tentang kedua perkara ini adalah dalam kitab-kitab mushthalah hadits. Sedangkan dalam pembahasan ini, kita melihat sisi lain dari penerapan al-jarh wat ta'dil ini dalam menjaga kemurnian dan kelestarian syariat Islam yang mulia ini.

               Kesempurnaan Syariat Islam
           Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa risalah sekaligus menutup para Nabi dan Rasul. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

               Dengan demikian, siapapun yang menganggap bahwa manusia itu harus memahami aqidah dan hukum-hukum agama mereka melalui ilmu lain yang bukan dari Al-Qur‘an dan As-Sunnah berarti telah melakukan kedustaan besar. Bahkan ini sama artinya dengan menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan pendapat atau pemikiran yang dia lontarkan. Ini adalah sebesar-besar kedzaliman terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.
Sehubungan dengan hal ini, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menegaskan: “Barangsiapa yang mengada-adakan satu bid’ah dalam Islam yang dianggapnya baik, berarti dia menuduh bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
(Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu), sehingga apa yang dahulu tidak diakui sebagai agama, maka pada hari ini juga bukan merupakan agama.” (Al-I’tisham 1/64 dalam Al-Luma’ hal. 8)

                Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan pula: “Maka jika Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Dia mencabut ruh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas apa artinya berbagai pemikiran yang diada-adakan oleh penggagasnya?! Kalau pemikiran tersebut memang bagian dari agama (ajaran Islam) –menurut keyakinan mereka– berarti agama ini belum sempurna kecuali dengan adanya tambahan dari pemikiran tersebut. Ini jelas menentang Al Qur`an. Kemudian, kalau pemikiran tersebut bukan bagian dari agama ini –dan kenyataannya memang demikian (ed)– apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari agama?! (Al-Qaulul Mufid hal. 38 dalam Al-Luma’ hal. 9)

               Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyampaikan risalah ini dengan sebenar-benarnya, sebagaimana firman-Nya:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)
            Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan amanah dengan penyampaian sempurna, lafadz serta makna. Beliau tinggalkan untuk umat ini kitab Allah (Al Qur`an) secara sempurna tanpa ada tambahan ataupun pengurangan. Ummul Mukminin (ibunda orang-orang beriman) Shiddiqah bintu Shiddiq ‘Aisyah radhiallahu 'anha mengatakan: “Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian dari apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, berarti dia benar-benar telah membuat kedustaan besar terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menegaskan:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya).”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)

                   Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri menerangkan tentang kewajibannya ini:
“Sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari.” (Shahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu 'anhuma)
Maka tidak ada alasan bagi kita untuk memilah dan memilih sesuatu dari syariat ini untuk diyakini atau diamalkan, sedangkan yang lain ditinggalkan.

         Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah: 208)

                    Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya (hal. 94) menerangkan makna (ke dalam Islam secara keseluruhan) artinya: Seluruh syariat agama (Islam) ini. Jangan meninggalkan sebagiannya dan jangan termasuk orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah (yang ditaati, disembah, diibadahi dengan semua jenis peribadatan-pen). (Yakni), kalau syariat itu cocok dengan hawa nafsunya dia kerjakan, kalau tidak maka dia tinggalkan. Padahal, yang wajib adalah menjadikan hawa nafsu itu tunduk mengikuti ajaran syariat Islam yang mulia ini.”

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.” (An-Nisa`: 150-151)

                Kalimat (Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya) menegaskan kepada kita penekanan tentang sifat mereka, sehingga jangan ada yang menyangka keadaan demikian, artinya mereka berada di antara kekafiran dan keimanan.

                   Dakwah kepada As-Sunnah dan Tahdzir dari bid’ah
          Salah satu prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah para pengikut salaf ialah dakwah (mengajak) kepada As-Sunnah An-Nabawiyyah. Ini adalah landasan utama persatuan dan kesatuan serta sebab bersatunya kaum muslimin. Bahkan sebagai perlindungan dan keselamatan di dunia dan akhirat.

        As-Sunnah adalah asas persatuan dan sumber kemuliaan, kekuatan dan kebaikan dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah teladan dalam (menjalankan) agama ini. Demikian pula para sahabatnya radhiallahu 'anhum, di mana Allah dan Rasul-Nya telah memberikan tazkiyah (pujian) kepada mereka. Bahkan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat meninggalkan dunia ini dalam keadaan ridha kepada para shahabatnya.

         Al-Haq (kebenaran) dan hidayah serta bimbingan senantiasa ada bersama mereka, di manapun mereka berada. Mereka tidak akan bersatu (sepakat) di atas kebatilan. Berbeda dengan orang-orang selain mereka, dari berbagai kelompok sempalan yang ada, karena mereka justru bersatu di atas kebatilan dan kesesatan.

         Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menerangkan: “Tidak boleh ada pembelaan (wala`, nushrah) terhadap tokoh tertentu secara umum dan mutlak kecuali hanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak pula kepada kelompok tertentu kecuali kepada para shahabat radhiallahu 'anhum. Karena sesungguhnya Al-Huda senantiasa ada bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di manapun beliau berada. Begitu pula para shahabatnya.” (Minhajus Sunnah, 5/261)

          Sejumlah nash (dalil) syariat telah menguraikan anjuran dan dorongan untuk mengikuti prinsip mulia ini. Prinsip yang menjadi acuan persatuan dan kesepakatan di atas As-Sunnah dan jalan yang terang. Sehingga, tidak ada hujjah melainkan milik orang yang menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah, dan tidak ada ‘ishmah (keterjagaan) dari penyimpangan kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan As-Sunnah dalam ilmu, amal, pendalilan dan pemahaman serta ittiba’ (sikap mengikuti).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Uswah artinya teladan. Tidak ada teladan (yang baik) kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada ittiba’ kecuali (kepada) beliau, dan tidak ada keselamatan kecuali berjalan di atas jalan yang dilalui beliau.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Sehingga pengakuan cinta seseorang belum bisa diterima hingga dia membuktikan dan melapangkan jalannya, yaitu dengan ittiba’ serta tetap berpegang dengan As-Sunnah.

            Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan: “Ketika semakin banyak orang-orang yang mengaku cinta, mereka dituntut menunjukkan bukti nyata pengakuan cintanya itu... Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: (Katakanlah: Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku) Akhirnya semua mundur, kecuali orang-orang yang mengikuti al-habib (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dalam setiap ucapan, tindakan, dan akhlaknya.”

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (6)
Dalam ayat ini dengan tegas dan sangat jelas Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan bahwa hidayah itu berkaitan langsung dengan ittiba’ kepada Rasul-Nya. Dan tentunya, ghiwayah (kesesatan, penyelewengan) berkaitan langsung dengan penyimpangan dari Sunnah Rasul-Nya.

              Hal ini ditegaskan pula dalam hadits riwayat Al-Imam Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu 'anhuma, katanya:
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika berkhutbah matanya memerah, suaranya meninggi, marahnya meningkat hingga seakan-akan beliau (sedang) mengomando satu pasukan tentara. Beliau berkata: ‘Perhatikan esok pagi dan petang kalian!’”
Beliau berkata pula: ‘Kemudian sesudah itu (amma ba’du). Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al Qur`an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Shallallahu 'alaihi wa sallam). Dan seburuk-buruk perkara ialah yang diada-adakan dan setiap bidah adalah sesat.”

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
“Aku wasiatkan kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, meskipun kepada seorang budak Habsyi (Ethiopia). Sesungguhnya, siapa yang hidup dari kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa`ur rasyidin yang terbimbing. Peganglah dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dari Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu 'anhu)

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
“Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Karena sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah!” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)

               Dari sejumlah dalil ini jelaslah bagi kita tentang keagungan As Sunnah dan kewajiban mengikuti As Sunnah. Adanya keselamatan bagi orang yang menempuh jalan yang digariskannya dan menjauhi hal-hal yang menyelisihinya. Pengertian seperti ini telah dipahami dengan tepat dan dijaga oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para tabi’in. Mereka senantiasa menyampaikan hadits tentang anjuran berpegang dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, men-tahdzir (menjelaskan akan bahaya) bid’ah, (melarang) bertetangga dengan ahli bid’ah, orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, dan orang-orang yang berpegang kepada ra`yu (pendapat akal pikiran semata).

                  Perhatikan sikap ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu ketika dia berkata: “Hati-hatilah dan jauhilah oleh kalian orang-orang yang menggunakan ra`yunya. Karena sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh As-Sunnah. Mereka dilemahkan oleh hadits-hadits, hingga tidak mampu menghafalnya. Akhirnya mereka berbicara dengan ra`yu mereka, maka mereka tersesat dan menyesatkan (orang lain).” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni rahimahullah dalam Sunan dan Al-Lalikai rahimahullah dalam Syarhu Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah)

               Shahabat yang mulia Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu juga mengatakan: “Ikutilah (ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan jangan membuat bid’ah. Sesungguhnya kalian telah dicukupi (dalam masalah agama ini). Dan setiap bid’ah itu sesat.” (Al-Ibanah, 1/327)
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah berkata: “As-Sunnah ialah yang telah digariskan oleh orang yang tahu bahwa menyelisihinya adalah penyimpangan. Mereka lebih mampu untuk berdebat daripada kalian.” (Al-Ibanah)

            Jelaslah bagi kita bagaimana manhaj salaful ummah dalam ilmu, amal, dan dakwah. Yaitu senantiasa berpegang teguh kepada As-Sunnah, mengikuti jalannya, dan mengajak manusia kepadanya serta men-tahdzir agar menjauhi orang-orang yang menyelisihinya.

             Agama Islam adalah (ajaran agama yang berisi) perintah dan larangan. Perintah terhadap semua kebaikan dan larangan dari semua kejahatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya tidak ada seorang Nabipun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari…” (Shahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu 'anhuma)

            Jadi, dakwah (Islam) ini sempurna meliputi berbagai aspek. Dimulai dari yang paling utama (tauhid) kemudian yang berikutnya. Namun demikian, bukan berarti dakwah kepada tauhid harus menutup mata terhadap hal-hal lain yang terkait dengannya, yang merupakan syarat sempurnanya tujuan dakwah.

                Hal ini ditegaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah yang dinukil oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah: “Maka ketahuilah wahai kaum muslimin, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi hidayah kepada kita semua menuju urusan agama kita yang lurus, bahwa perkara yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam mendakwahkannya dan umatnya termasuk di dalamnya, mempunyai dua landasan utama, yang tidak mungkin lepas salah satu dari yang lainnya. Keduanya ialah:
a. Perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dorongan terhadap hal ini dan mempunyai sikap wala` yang didasari oleh perkara ini, sekaligus menyatakan kafirnya orang-orang yang meninggalkan perkara ini.
b. Peringatan tentang bahaya syirik dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bersikap tegas dalam perkara ini dan menunjukkan sikap permusuhan yang didasari kebencian terhadap masalah (syirik) ini serta menyatakan kafirnya orang-orang yang melakukannya. (7)

        Inilah Al-Islam, yaitu istislam (tunduk, berserah diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan tauhid, menaati-Nya, dan berlepas diri dari semua bentuk kesyirikan serta para pelakunya.

              Sesungguhnya siapapun yang mempelajari Kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu melihat bahwa agama ini dibangun di atas dua landasan utama ini, yaitu ta`shil dan tahdzir.
Ta`shil yakni membentuk prinsip pokok tentang kebenaran (al-haq) sekaligus menerangkannya. Adapun tahdzir, yaitu memperingatkan manusia agar menjauhi berbagai bentuk kebatilan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256)

            Di sini, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyatakan bahwa tidaklah seseorang menjadi muslim (sejati) yang berjalan di atas kemuliaan dan jalan yang lurus sampai dia menghimpun kedua prinsip dasar ini. Yaitu kafir (ingkar, menentang) terhadap berbagai bentuk kebatilan dan semua yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, sekaligus beriman hanya kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam uluhiyah (peribadatan), rububiyah (perbuatan-perbuatan Allah Subhanahu wa Ta'ala)8, maupun dalam masalah asma‘ wa shifat (nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala).

              Bahkan, seseorang tidak pula akan dikatakan sebagai muttabi’ (pengikut) Sunnah atau tuntunan Al-Mushthafa (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) hingga dia menambahkan adanya sikap hajr (meninggalkan) dan tahdzir (memperingatkan bahaya) bid’ah dan ahli bid’ah serta membenci mereka.

Jadi, tahdzir dari orang-orang yang mempunyai penyakit zaigh (cenderung kepada kesesatan), bid’ah, dan hawa nafsu adalah salah satu prinsip dasar dari ushul (prinsip pokok) ajaran Islam. Dan ini adalah sebagai bentuk pemeliharaan bagi kemurnian syariat dan membentengi aqidah kaum muslimin dari kerusakan.

             Permasalahan ini sesungguhnya telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui firman-Nya:
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)9
Al-Imam Asy Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir (2/122) menerangkan: “Di dalam ayat ini terkandung nasehat dan peringatan besar bagi mereka yang mentolerir duduk bermajelis dengan ahli bid’ah, (yaitu) orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Allah Subhanahu wa Ta'ala, mempermainkan Kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, serta mengembalikannya kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka, jika dia tidak (mampu) mengingkari atau mengubah keyakinan mereka, paling tidak dia harus meninggalkan majelis mereka. Dan ini tentu lebih mudah.”

Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur`an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (An-Nisa`: 140)

               Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya (5/418) menerangkan tafsir ayat ini yang maknanya: “Ayat ini menegaskan wajibnya menjauhi para pelaku maksiat, apabila terlihat kemungkaran yang mereka kerjakan. Sebab, orang yang tidak mau menjauhi mereka berarti dia ridha (senang) dengan perbuatan maksiat itu. Sedangkan ridha kepada kekafiran berarti kafir. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ini: {Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka}. Maka siapapun yang duduk bersama pelaku maksiat dan tidak mengingkari mereka, dosa mereka sama....dan apabila dia tidak mampu mengingkarinya, hendaklah dia pergi meninggalkan majelis tersebut agar tidak tergolong orang-orang yang disebutkan dalam ayat yang mulia ini. Dan apabila telah jelas keharusan menjauhi pelaku maksiat, maka menjauhi pelaku bid’ah itu jelas lebih diutamakan...”

             Semakna dengan ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu:
“(Semoga) Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. (Semoga) Allah melaknat orang yang menyembelih untuk sesuatu selain Allah. Dan (semoga) Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan. Dan (semoga) Allah melaknat orang yang merubah patok batas tanah.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullah menukil perkataan Ibnul Atsir, mengatakan: “Kalau huruf dal dibaca dengan kasrah (ãõÍúÏöËÇð), artinya pelaku kejahatan (jaani), kalau dibaca fathah (ãõÍúÏóËÇð), artinya adalah perkara yang diada-adakan. Sehingga maknanya dalam bentuk pertama, melindungi dan membela pelaku kejahatan itu dari lawan yang menuntutnya. Adapun dalam bentuk kedua ini artinya ialah ridha dan bersabar menjalankannya. Karena sesungguhnya kalau seseorang ridha terhadap suatu bid’ah, menyetujui pelakunya dan tidak mengingkari, berarti dia telah melindungi dan membelanya.” (Fathul Majid hal. 175-176)

               Dan kita tahu, bahwa bid’ah itu jauh lebih berbahaya daripada maksiat. Karena seorang pelaku maksiat, ada kemungkinan mudah untuk bertaubat. Bahkan terkadang, mereka melakukannya sembunyi-sembunyi karena tahu yang dikerjakannya itu salah dan dosa. Sedangkan pelaku bid’ah, sangat sulit diharapkan bertaubat, sebab mereka merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya itu benar dan merupakan ajaran agama. Oleh karena itulah Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah mengatakan bahwa bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat.

           Dari sini, maka tidaklah pantas pula bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hari kemudian, untuk menjadikan jumlah mayoritas sebagai ukuran suatu kebenaran. Karena al-haq itu tidaklah dinilai dari banyak sedikitnya pengikut. Akan tetapi al-haq dinilai dan dikenal dari dalil-dalil syariat, ayat-ayat Al-Qur‘an, dan As-Sunnah.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116)

Al-Wala`wa Al-Bara`
Setiap mukmin adalah wali Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mereka adalah wali bagi mukmin lainnya. Sedangkan orang-orang kafir adalah musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan musuh orang-orang yang beriman.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan agar kaum mukminin berwala` kepada sesama mukminin. Allah Subhanahu wa Ta'ala tegaskan pula bahwa sikap wala` ini merupakan tuntutan atau konsekuensi dari keimanan. Bahkan dia merupakan bagian dari makna kalimat syahadat (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah).
Inilah ajaran (millah) Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan orang-orang yang bersama beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan kita untuk mengikuti ajaran tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mumtahanah: 4)

              Memang, ayat ini adalah anjuran untuk bara` (benci) terhadap orang-orang kafir, tetapi makna atau hukumnya berlaku umum. Artinya dapat pula diterapkan kepada orang-orang yang fajir (jahat, durhaka) dan ahli bid’ah. Oleh sebab itu para pendahulu kita yang saleh dari kalangan sahabat terang-terangan menampakkan sikap bara` mereka terhadap bid’ah dan ahlinya. Sebagaimana kita maklumi hal ini dari sikap Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma yang mengatakan: “Sampaikan kepada mereka (orang-orang Qadari10), bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.” Beliau ucapkan tiga kali.11

           Prinsip ini (al-wala‘ wal bara‘) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang merasakan manisnya iman. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Tiga hal yang apabila ada pada seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu) seseorang yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah. Dan dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu)

              Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan: “...perlu diketahui bahwa seorang mukmin wajib kamu cintai meskipun dia mendzalimi kamu. Dan orang kafir harus kamu benci meskipun dia berbuat baik dan memberikan sesuatu kepadamu. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-kitab-Nya agar agama (ibadah) ini seluruhnya hanya diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga cinta kepada wali-wali-Nya dan membenci musuh-musuh-Nya...

           Kemudian, apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan, kedurhakaan dan ketaatan, sunnah dan bid’ah, maka dia berhak mendapatkan wala` sebatas kebaikan yang ada padanya dan berhak menerima bara` (kebencian) dan hukuman sebatas keburukan atau kejahatan yang ada padanya. Seperti seseorang yang mencuri, harus dipotong tangannya sebagai hukuman, namun juga dia tetap disantuni dengan menerima bagian dari baitul mal (kas negara) untuk mencukupi kebutuhannya. Dan inilah salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berbeda dengan orang-orang Khawarij, Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka." (12)

                  Amar Ma’ruf Nahi Munkar
         Salah satu hak yang harus ditunaikan dalam prinsip Al-Wala` wal Bara` ialah amar ma’ruf nahi munkar yang juga penyempurna seluruh prinsip pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu wasilah utama yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikannya sebagai karakter para Nabi dan Rasul 'alaihimussalam, sebagai tanda bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, sekaligus sebagai bukti kebaikan dan kesuksesan mereka di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl: 90)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang sifat Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam:
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (Al-A’raf: 157)

         Ayat ini menerangkan kesempurnaan risalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan semua kebaikan dan melarang semua kemungkaran melalui lisan beliau, menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang keji.

         Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensifati umat ini sesuai dengan sifat Nabi-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah..” (Ali ‘Imran: 110)

Dan firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (At-Taubah: 71)

         Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa umat ini adalah umat terbaik, paling bermanfaat dan paling besar kebaikannya kepada sesama manusia, karena mereka menyempurnakan urusan (kehidupan) manusia dengan memerintahkan mereka kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Mereka telah menjalankannya secara sempurna, bahkan menegakkannya dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. (13)

         Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Menganjurkan manusia agar berpegang dan mengikuti As Sunnah serta mencegah jangan sampai bid’ah muncul dan tersebar adalah amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan ini merupakan amalan saleh yang paling mulia, sehingga seharusnya betul-betul dijalankan dengan penuh keikhlasan mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala.”(Minhajus Sunnah, 5/253)
Termasuk amar ma’ruf nahi munkar adalah kritik terhadap berbagai kesalahan atau penyimpangan dan menjelaskannya kepada manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan: “Dai yang mengajak kepada satu bid’ah berhak menerima hukuman, menurut kesepakatan kaum muslimin. Hukuman itu kadang berupa hukuman mati atau yang lebih ringan, sebagaimana para salafus saleh membunuh Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ghailan Al-Qadari, dan lain-lain14. Seandainya dia dianggap tidak berhak dihukum atau tidak mungkin dihukum seperti itu, maka menjadi sebuah keharusan untuk diterangkan kebid’ahannya dan men-tahdzir manusia supaya menjauhinya. Karena sesungguhnya hal ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.”(Majmu’ Fatawa 35/414, dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah 2/485)

Oleh karena inilah menjadi wajib untuk menerangkan perihal orang-orang yang keliru dalam hadits atau periwayatan, dalam hal pemikiran ataupun fatwa. Bahkan juga mereka yang salah dalam masalah zuhud dan ibadah. (15)

          Adapun dalil atau acuan dalam masalah ini ialah dalil-dalil yang berkaitan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga tidak selayaknya bagi setiap jamaah kaum muslimin untuk merasa sesak dan sempit dadanya (menerima) kritikan atau sejenisnya. Karena hal ini adalah bagian dari pelaksanaan sikap adil yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan kepada kita, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjaan.” (An-Nisa`: 135)

               Al-Layy (memutar balikkan kata-kata) sama dengan dusta, sedangkan i’radh (enggan menjadi saksi) sama dengan kitman (menyembunyikan kesaksian), demikian diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Lantas bagaimana mungkin dibenarkan bagi seorang mukmin pengakuannya (dia beriman) jika diiringi sikap kitman, berlindung di balik kepalsuan sikap politik? Apalagi dikatakan oleh Abu ‘Ali Ad-Daqqaq rahimahullah bahwa orang yang diam terhadap suatu kemungkaran, adalah setan yang bisu. Dan orang yang berbicara dengan suatu kebatilan adalah syaithan nathiq (setan yang pintar ngomong, red). (16)

          Tentunya, tidak diragukan lagi, ghirah (kecemburuan) yang Allah Subhanahu wa Ta'ala letakkan di dalam hati seorang mukmin terhadap apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala inilah yang sebenarnya menjadi motivator baginya untuk menjalankan kewajibannya ini. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mempunyai sifat cemburu. Dan seorang mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah ketika seorang mukmin melanggar apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadapnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)
Sehingga, jika setiap kali seorang mukmin yang ingin memperbaiki satu kekeliruan atau meluruskan suatu penyimpangan dicegah, dengan dalih bukan saatnya ‘karena orang-orang kafir tengah mengintai kelengahan kaum muslimin’, lantas sampai kapan orang yang diperingatkan tersebut menyadari kesalahannya dan sampai kapan orang yang sakit itu akan sembuh, lalu menjadi kuat?
Bahkan, bukanlah merupakan bentuk wala` terhadap kaum mukminin, kalau seseorang membantu (17) saudaranya dalam kebatilan, padahal saudaranya itu membutuhkan bimbingan secara syar’i. Anas bin Malik radhiallahu 'anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Tolonglah saudaramu yang dzalim atau yang didzalimi (teraniaya).” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah. Kami jelas akan menolong yang didzalimi, lalu bagaimana kami menolong saudara kami yang dzalim?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Yakni kamu tahan tangannya agar tidak berbuat dzalim.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

          Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan pula bagaimana pentingnya amar ma’ruf nahi munkar:
“Perumpamaan orang yang menjaga batas-batas hukum yang ditetapkan Allah dan orang yang terjerumus ke dalamnya adalah seperti suatu kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian ada yang di sebelah atas, yang lain di bawah. Kemudian yang berada di bawah, apabila ingin minum melintasi orang-orang yang ada di atas mereka. Maka mereka (yang di bawah ini) berkata: ‘Kalau kita lubangi bagian kita di dasar (kapal) ini, tentulah kita tidak akan mengganggu orang-orang yang di atas kita.’

Maka seandainya orang-orang yang di atas membiarkan orang-orang yang di bawah melakukan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka akan binasa (tenggelam) semuanya. Namun kalau mereka (yang di atas) menahan (mencegah) orang-orang yang berada di bawah mereka, maka mereka selamat dan selamatlah semuanya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu 'anhu)

               Dalam hadits ini menegaskan kepada kita bahwa bahaya yang terjadi kalau inkarul munkar (mencegah, menghalangi kemungkaran) ditinggalkan tidak hanya menimpa pelakunya saja, tetapi seluruh kelompok masyarakat yang diam terhadap kemungkaran tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengingatkan kita bahwa azab-Nya tidak hanya menimpa orang yang dzalim semata:
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Al-Anfal: 25)

Oleh karena itu, menghadapi ahli bid’ah, menerangkan dan membongkar kebatilan mereka (juga tokoh-tokohnya) merupakan upaya perlindungan terhadap kaum muslimin, agar tidak dihancurkan oleh musuh-musuh Islam.

                Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa musuh-musuh Allah ada dua: dari kalangan kuffar (orang-orang kafir) dan munafikin. Dan tentunya menghadapi yang kedua ini lebih sulit.

             Beliau mengatakan pula: “Apabila suatu kelompok bukan dari kalangan munafikin, namun suka mendengarkan perkataan orang-orang munafikin, telah kabur atas mereka urusan orang-orang munafikin tersebut. Sehingga dia mengira ucapan mereka adalah benar, padahal menyelisihi sunnah. Akhirnya mereka menjadi corong yang menyuarakan dan mengajak kepada bid’ah (yang dianut) orang-orang munafikin tadi. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka..” (At Taubah: 47)

             Maka harus diterangkan keadaan orang-orang tersebut. Fitnah yang ditimbulkan mereka lebih hebat, karena pada diri mereka ada iman yang mendorong kita wajib bersikap loyal (wala`) kepada mereka. Sementara mereka telah terjerumus ke dalam bid’ah kaum munafikin yang merusak agama ini. Sehingga, mesti ada tahdzir dari bid’ah tersebut, meskipun hal itu mengharuskan penyebutan mereka dan ta’yin (menerangkan nama tokoh-tokohnya). Bahkan kalaupun mereka tidak mengambil bid’ah itu dari kaum munafikin, namun muncul dari pendapat sendiri yang mereka anggap bahwa hal itu adalah petunjuk, kebaikan bahkan merupakan agama, tetap wajib untuk menerangkan keadaan (kesesatan) mereka.”(Majmu’ Fatawa, 28/233)

               Para ulama menganggap bahwa berjihad menghadapi orang-orang seperti ini lebih utama. Yahya bin Yahya, guru Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumullah, mengatakan: “Membela As-Sunnah lebih utama daripada jihad.” Demikian pula Al-Humaidi, guru Al-Imam Al-Bukhari yang lain mengatakan: “Demi Allah, memerangi orang-orang ini (ahli bid’ah) yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jauh lebih aku sukai daripada memerangi orang-orang kafir sebanyak mereka.”

             Sehingga dikatakan oleh Ibnu Hubairah berkaitan dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu tentang (memerangi) orang-orang Khawarij: “Hadits ini menerangkan bahwa memerangi Khawarij lebih utama daripada memerangi kaum musyrikin. Hikmahnya ialah bahwa memerangi mereka merupakan bentuk penjagaan terhadap modal pokok Islam. Sedangkan memerangi kaum musyrikin (ibaratnya seperti) mencari keuntungan. Tentunya, memelihara modal pokok jauh lebih utama.”(Fathul Bari 12/301 dalam Sittud Durar hal. 119-120)
Namun, ada yang perlu diperhatikan dalam masalah ini. Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 43-44)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha:
“Sesungguhnya kelemahlembutan itu, tidaklah dia berada pada sesuatu melainkan tentu menghiasinya.” (Shahih, HR. Muslim)

              Jelas di sini betapa pentingnya sikap lemah lembut. Dan sebelum itu semua, yang utama adalah ilmu. Sehingga setiap orang yang mau menjalankan amar ma’ruf nahi munkar harus tahu mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Jangan sampai dia justru mengingkari sesuatu yang ternyata merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) atau sebaliknya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 28/136)

Namun perlu juga kita pahami di sini, bahwa kelembutan bukan berarti kita harus diam terhadap kemungkaran dan kebid’ahan. Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan: “Tidak diragukan bahwa syariat Islam ini adalah syariat yang sempurna, datang membawa tahdzir terhadap berbagai sikap ghuluw (melampaui batas) dalam urusan agama. Memerintahkan dakwah ke jalan yang haq dengan hikmah, nasehat yang baik, dan debat dengan cara yang lebih baik. Akan tetapi ternyata syariat ini sama sekali tidak melupakan sikap keras dan tegas yang diletakkan pada tempatnya, di mana lemah lembut dan debat tidak lagi berguna. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka..” (At-Taubah: 73, At-Tahrim: 9)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka mendapati sikap keras dalam diri kalian.” (At-Taubah: 123)
Sikap keras ini, jika memang dibutuhkan harus dilaksanakan walaupun terhadap sesama muslim. Tidakkah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkan berperang dalam masalah ini, sebagaimana firman-Nya:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al-Hujurat: 9)

Bahkan terkadang seorang mukmin akan lebih keras dan tegas mengingkari kemungkaran yang ada pada saudaranya daripada terhadap musuhnya (orang kafir). Kita lihat bagaimana lembutnya Nabiyullah Musa 'alaihissalam mengajak Fir’aun kepada tauhid, tetapi keras terhadap saudaranya Harun 'alaihissalam di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang hal itu:
“Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya.” (Al-A’raf: 150)

Apakah ada orang yang membantah Nabi Musa 'alaihissalam dan menganggapnya tidak mempunyai sikap wala` terhadap saudaranya Nabi Harun 'alaihissalam, beliau berlemah lembut kepada musuhnya seorang thaghut besar, tapi kaku dan kasar terhadap saudaranya sendiri?

            Kita lihat bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat terhadap sebagian para shahabatnya.
Di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Jabir bin ’Abdillah dia mengisahkan bahwa Mu’adz radhiallahu 'anhu biasa shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian dia mendatangi kaumnya dan shalat bersama mereka (sebagai imam) dan membaca surat Al-Baqarah. Ada seseorang yang memendekkan shalat (kemudian pergi). Berita ini sampai kepada Mu’adz radhiallahu 'anhu lalu dia mencap orang itu munafik. Laki-laki itu mengetahui perbuatan Mu’adz. Lalu diapun datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengadu: “Ya Rasulullah, kami suatu kaum yang bekerja sendiri untuk mengairi tanaman kami. Dan Mu’adz shalat bersama kami tadi malam lalu membaca surat Al-Baqarah. Kemudian saya shalat sendiri lebih ringkas. Lantas dia menuduh saya munafik.”
Mendengar ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Hai Mu’adz, apakah kamu ingin menimbulkan fitnah?” (Beliau katakan tiga kali) “Bacalah {æóÇáÔøóãúÓö æóÖõÍÇóåÇó},atau {ÓóÈøöÍö ÇÓúãó ÑóÈøößó ÇúáÃóÚúáóì} atau yang seperti itu.”
Padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada Mu’adz, bahwa beliau mencintai Mu’adz. (18)

        Kita bandingkan bagaimana sikap lembut beliau kepada seorang Arab badui yang kencing di masjid (19). Dan bagaimana tegasnya beliau terhadap Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiallahu 'anhuma, hibbi (kesayangan) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam putra hibbi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan syahadat, dan beliau berkata kepadanya:
“Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah)?” Saya berkata: “Dia hanya cari-cari perlindungan.” Beliau tetap mengulangi pertanyaannya, sampai saya berharap seandainya saya belum masuk Islam sebelum kejadian itu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhuma)

Ini terus dijaga Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhuma sampai ketika terjadi fitnah pembunuhan terhadap Dzun Nurain (pemilik dua cahaya) ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu 'anhu,, beliau tidak ikut campur di dalamnya. Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Usamah mengambil faedah dari kejadiannya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau mengatakan: ßóíúÝó ÈöáÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ íóÇ ÃõÓÇóãóÉõ “Bagaimana dengan kalimat áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah), hai Usamah?” Kemudian dia menahan tangannya dan tetap di rumahnya.” (As-Siyar, 2/500 dinukil dari Sittu Durar)

                 Lihat pula bagaimana para qudwah (teladan) kita, para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyikapi kerabat mereka sendiri yang menyimpang dari tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu permasalahan yang sebagian kita mungkin menganggapnya masalah furu’. Inilah Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma. Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya:
Bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar Radiyallahu 'anhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kamu melarang wanita (isteri) kalian ke masjid jika mereka minta izin kalian untuk ke sana.’ Tiba-tiba berkatalah Bilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar: ‘Demi Allah. Sungguh kami pasti melarang mereka.’ Kata rawi: Maka ‘Abdullah menoleh kepadanya dan mencercanya dengan cercaan yang sangat buruk yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Kemudian dia berkata: ‘Aku sampaikan kepadamu hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tapi kamu justeru mengatakan: Demi Allah, sungguh kami pasti melarang mereka?”

            Demikianlah sebagian sikap tegas para salafus shalih terhadap orang-orang yang melecehkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meskipun itu muncul dari kerabat mereka sendiri. Inilah salah satu bukti pelaksanaan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka..” (Al-Mujadilah: 22)
Dari semua keterangan ini, makin jelaslah bagi kita kritik yang dilancarkan Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap berbagai pemikiran yang berkembang di tengah-tengah kaum muslimin bukanlah tanpa dasar. Semua ini adalah sebagai bukti kecintaan mereka terhadap saudara mereka sesama muslim. Mereka ingin diri mereka sendiri selamat dari murka Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka merekapun ingin saudara mereka selamat. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufik kepada kita untuk kembali kepada syariat-Nya yang mulia ini.
Amin.


               AL JARH WA AT TA'DIL DALAM TINJAUAN AL QUR'AN

               Al Qur`an sebagai wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sarat dengan petunjuk dan bimbingan bagi kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensifatkan Al Qur`an ini dengan sifat-sifat agung lagi mulia yang berlaku untuk seluruh ayatnya.

             Sifat-sifat tersebut merupakan bukti terbesar bahwa Al Qur`an merupakan landasan utama bagi seluruh disiplin ilmu yang bermanfaat demi kebaikan dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan bahwa Al Qur`an adalah Al-Huda (petunjuk), Ar-Rusyd (bimbingan, kelurusan) dan Al-Furqan (Yaitu Al-‘Ilmu atau pembeda, yang memisahkan antara yang haq dari yang batil. Wallahu a’lam). Bahkan Al Qur`an itu sendiri adalah Al-Huda yang memberi petunjuk seluruh manusia kepada semua yang mereka butuhkan dalam urusan dunia dan agama mereka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضاَنَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّناَتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقاَنِ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
تَباَرَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقاَنَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُوْنَ لِلْعاَلَمِيْنَ نَذِيْرًا
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur`an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,” (Al-Furqan: 1)

Al Qur`an mengarahkan manusia ke setiap jalan yang bermanfaat, memberi batasan tegas antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, dan antara orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka dengan menerangkan ciri-ciri atau karakter masing-masing kelompok yang berlawanan ini. Di dalam Al Qur`an pula didapatkan penjelasan berbagai masalah ushul (pokok, prinsipil) dan furu’ (cabang) lengkap dengan dalil-dalil ‘aqli (rasional) dan naqli (Al Qur`an dan As-Sunnah). Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam sejumlah ayat-ayat-Nya telah menerangkan sifat-sifat Al Qur`an ini dengan sifat-sifat mutlak dan umum yang tidak ada kejanggalan sedikitpun di dalamnya.
Namun, seiring pemaparan sifat-sifat Al Qur`an yang begitu sempurna dan mulia ini, ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala membatasi hidayah yang ada di dalam Al Qur`an dengan beberapa hal.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الم. ذَلِكَ الْكِتاَبُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 1-2)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى. سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى
“Oleh karena itu, berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfa’at, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” (Al-A’la: 10)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّماَ أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّماَ يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْباَبِ
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”(Ar-Ra’du: 19)

Dalam ayat-ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala membatasi bahwa Al Qur`an ini adalah Al-Huda, tetapi hanya bagi orang-orang beriman, bertakwa, orang-orang berakal, orang-orang yang memikirkan, dan orang-orang yang memang menginginkan al-haq (kebenaran). Ini adalah (sebagian) penjelasan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang syarat (diperolehnya) hidayah (dari Al Qur`an). Artinya, agar Al Qur`an ini menjadi Huda (petunjuk), maka harus ada yang menerima sekaligus mengerjakan. Sehingga seseorang yang ingin memperoleh hidayah Al Qur`an ini harus berakal, berfikir dan mau mempelajari ayat-ayatnya.

Adapun seorang penentang; yang tidak mau memikirkan dan mempelajari ayat-ayatnya tidak akan mungkin mengambil manfaat yang ada di dalam Al Qur`an. Begitu pula dengan orang yang tidak mempunyai niat dan keinginan untuk mendapatkan kebenaran atau kesadaran. (Yaitu) orang yang maksud dan tujuannya rusak, di mana dia menempatkan dirinya untuk menentang dan menyelisihi Al Qur`an. Dia pasti tidak akan menerima bagian sedikitpun dari hidayah Al Qur`an ini.

Sedangkan mereka yang menyambut, memikirkan makna-maknanya, mempelajari ayat-ayat Al Qur`an dengan pemahaman dan niat yang baik dan benar serta bersih dari dorongan hawa nafsu, niscaya dia akan terbimbing mendapatkan hidayah menuju tujuan-tujuan dan sasaran yang dicita-citakannya.

              Maka barangsiapa yang memahami bahwa Al Qur`anul ‘Azhim betul-betul menyandang semua sifat mulia, bahkan paling tinggi dan sempurna serta paling bermanfaat bagi semua manusia. Kemudian dia meyakini pula bahwa di dalamnya terkandung makna-makna agung, yang selalu diulang-ulang dan semakin menambah keindahan serta kesempurnaannya, tentulah dia memahami pula bahwa ketika seorang thalibul ‘ilmi (pencari ilmu) mengamati tafsir satu ayat Al Qur`an, dia akan terbawa untuk memahami serta mengenal tafsir ayat-ayat lainnya. Dan selanjutnya, dia dituntut untuk beriman dan mengamalkan kandungan Al Qur`an tersebut.
Asy-Syaikh Tsaqil Al-Qasimi dalam bukunya Sallus Suyuf (hal. 141) menyatakan: “Sesungguhnya, siapapun yang betul-betul memperhatikan dan mempelajari Kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya dia akan menemukan bahwa ajaran Islam ini, dibangun di atas dua prinsip utama, yaitu At-Ta`shil dan At-Tahdzir. At-Ta`shil (membangun prinsip, pedoman) dalam perkara yang haq serta menjelaskannya. At-Tahdzir (peringatan agar menjauh) dari berbagai kesesatan dengan segala bentuk dan coraknya. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan masalah besar ini dalam firman-Nya:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصاَمَ لَهاَ
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan jelas menerangkan bahwa tidak mungkin seorang muslim berada di jalan yang mulia dan lurus kecuali jika dia menghimpun kedua prinsip utama ini. Yaitu, kafir kepada thaghut (segala sesuatu yang disembah selain Allah) dan semua bentuk kebatilan, serta beriman kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam rububiyah (sebagai Pencipta, Pemberi rezki, Pengatur dan sebagainya), asma` was shifat (nama-nama dan sifat-sifat-Nya), maupun dalam Uluhiyah-Nya (sebagai tempat bersandar, berlindung, bergantung, memohon doa, syafaat dan sebagainya).

               Maka sesungguhnya Al Qur`an itu berbicara tentang tauhid, tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta perbuatan-perbuatan-Nya. Atau berisi tentang dakwah, ajakan, untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya serta melepaskan diri dari semua yang diibadahi (disembah) selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Atau berisi perintah dan larangan, yang merupakan hak-hak tauhid dan pelengkap atau penyempurna tauhid tersebut. Atau berisi uraian tentang kemuliaan yang diterima oleh ahli tauhid, di dunia dan akhirat sebagai balasan atas tauhid itu, serta apa yang diterima oleh musuh-musuh tauhid, di dunia dan akhirat.

            Jadi, Al Qur`an itu seluruhnya berbicara tentang tauhid, hak-hak yang harus ditunaikan dan balasan-balasannya. (Fathul Majid hal 23-24)

               Secara umum, al-jarh wat ta'dil sebagai wasilah untuk menjaga kemurnian dan kelestarian syariat Islam ini juga kita lihat tersebar dalam ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia ini. Mungkin dalam susunan yang tegas menunjukkan kejelekan suatu kaum, bangsa atau masyarakat, atau suatu perbuatan (amalan). Kadang dalam bentuk larangan tegas dan perintah menjauhinya. Sebaliknya, dalam masalah at-ta’dil juga demikian.

              Sehingga, jika kita dapatkan di dalam Al Qur`an semua amalan yang dianggap mulia oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, kemudian dipuji oleh Allah, bahkan Dia memuji pelakunya, gembira karenanya, mencintainya, atau mencintai pelakunya bahkan meridhainya, mensyukurinya, atau menafikan adanya ketakutan dan kesedihan dari pelakunya, tertawa dan takjub terhadap pelakunya, ini adalah dalil bahwa amalan itu disyariatkan. Tentunya jelas ini merupakan bentuk-bentuk ta’dil.

           Sebaliknya, setiap amalan yang dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan, pelakunya dicela, dimurkai, dibenci, dilaknat, dihapus kecintaan atau ridla terhadapnya, menyerupakan pelakunya dengan hewan ternak, dinyatakan sebagai sebab Dia menelantarkan pelakunya (di hari kiamat), menyatakan permusuhan dan perang terhadap pelakunya, dan seterusnya, maka ini adalah dalil dilarang atau diharamkannya perbuatan tersebut. Dan ini adalah sebagian dari bentuk jarh.
Di sini akan kami paparkan sebagian dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menggambarkan kepada kita adanya jarh terhadap suatu masyarakat, bangsa bahkan seseorang atau amalan tertentu, agar kita menjauhi dan berhenti mengerjakannya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ. ماَ أَغْنَى عَنْهُ ماَلُهُ وَماَ كَسَبَ. سَيَصْلَى ناَرًا ذَاتَ لَهَبٍ. وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ. فِيْ جِيْدِهاَ حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah baginya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (Al-Lahab: 1-5)

Abu Lahab adalah paman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang paling sengit permusuhannya terhadap beliau. Tidak beragama, tidak memiliki rasa solidaritas kesukuan (membela kerabat). Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menghinakannya sedemikian rupa, sampai hari kiamat. Setiap lisan kaum mukminin akan senantiasa membaca ayat-ayat ini.

            Dan tentunya, kita juga memaklumi bahwa Abu Lahab dan isterinya mempunyai kebaikan, namun semua itu sia-sia karena kekafiran dan permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الأَحْباَرِ وَالرُّهْباَنِ لَيَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْباَطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)

          Ayat ini mengandung tahdzir bagi hamba Allah yang beriman, agar mereka berhati-hati sekaligus jangan meniru kebanyakan pendeta dan rahib yang suka memakan harta manusia dengan cara yang batil. Padahal kita tahu, semua yang diberikan manusia kepada mereka ini adalah karena ilmu dan ibadah (kebaikan) mereka, namun Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganggap kebaikan itu.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهاَ كَمَثَلِ الْحِماَرِ يَحْمِلُ أَسْفاَرًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآياَتِ اللهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Al-Jumu’ah: 5)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْناَهُ آياَتِناَ فَانْسَلَخَ مِنْهاَ فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطاَنُ فَكاَنَ مِنَ الْغاَوِيْنَ. وَلَوْ شِئْناَ لَرَفَعْناَهُ بِهاَ وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآياَتِناَ فاَقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu ia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-A’raf: 175-176)

Ini adalah celaan atau kritik yang sangat tajam sekaligus tahdzir, agar kita menjauhi sifat buruk ini.

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِيْنٍ. هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيْمٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.” (Al Qalam: 10-12)

Terakhir, kami ingatkan; bila seseorang sudah tidak lagi dapat diperbaiki dengan Al Qur`an dan As-Sunnah, maka dengan perkataan apapun dia tidak akan mungkin dapat diperbaiki. Wallahu a’lam.


Footnote :
1. Mukaddimah kitab Al-Jarh wat Ta'dil Ibni Abi Hatim .
2. Namun perlu dipahami, bahkan diyakini bahwa semua hadits yang tsabit (shahih) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan bertentangan dengan Kalamullah (Al Qur`an), karena keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ayat 3-4 surat An-Najm. Demikian juga, tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat. Wallahu a’lam.
3. Mafhum mukhalafah (pengertian balik) makna ayat ini.
4. Dinukil secara ringkas dari Dhawabith Al-Jarh wat Ta'dil (hal 10-16).
5. Jika seorang kritikus secara serampangan mengkritik, akan habis tertolak semua hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini menyebabkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lagi menjadi sumber syariat Islam yang mulia ini. Dan hal seperti inilah sebetulnya yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam seperti antara lain kaum Rafidhah (Syi’ah). Wallahu a’lam, pen.
6. Al-Quran surat An-Nuur ayat 54.
7. Dari pengantar Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah terhadap kitab Usus Manhaj Salaf fi da’wati ilallahi karya Asy-Syaikh Fawwaz As-Suhaimi, (hal 7-8).
8. Seperti penciptaan, pengaturan dan sebagainya. Wallahu a’lam.
9. Lihat Sallus Suyuf wal Asinnah (hal 141-142).
10. Yang menolak adanya takdir dan berkeyakinan bahwa semua kejadian di alam ini terjadi begitu saja tanpa campur tangan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a’lam.
11. Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya, Al-Lalikai rahimahullah dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 2/588, ‘Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam As-Sunnah (2/420), dan Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam Asy-Syari’ah (205).
12. Majmu’ Fatawa (28/209).
13. Majmu’ Fatawa (28/123).
14. Sebelumnya, Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu telah menghukum Shabigh At-Tamimi yang menanyakan hal-hal mutasyabihat dari Al Qur`an. Beliau memukul kepala Shabigh hingga bercucuran darah, kemudian memerintahkan kaum muslimin menjauhinya selama satu tahun. Dikisahkan setelah itu Shabigh berubah lebih baik. Wallahu a’lam.
15. Majmu’ Al-Fatawa (28/234).
16. Sittud Durar hal. 109.
17. Yakni, membiarkannya tetap tenggelam dalam kejahatan, kemaksiatan kebid’ahan. Wallahu a’lam.
18. Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (1301).
19. Shahih, HR. Ahmad (12515) dan Muslim (429) dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu.


Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

 
(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 14/1426 H/2005, judul asli "Al Jarh wa AtTa'dhil )

Pengaruh Buruk Perbuatan Dosa

        Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman. Nikmat kesehatan, keamanan, ketenangan, rizki berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Belum lagi nikmat iman bagi ahlul iman. Sungguh, dalam setiap tarikan napas, ada nikmat yang tak terhingga. Dari mulai tidur, bangun dari tidur hingga tidur kembali, ada nikmat yang tiada terkira. Maka Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika berulang-ulang menegaskan dalam surat Ar-Rahman:فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian berdua (bangsa jin dan manusia) dustakan?”
Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ini semestinya dihadapi dengan penuh rasa syukur. Namun sangat disesali, hanya sedikit dari para hamba yang mau bersyukur:
وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba’: 13)
Kebanyakan dari mereka mengkufuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan.

Demikianlah keadaan anak manusia, setiap harinya selalu berbuat dosa. Kita pun tak luput dari berbuat dosa, baik karena tergelincir ataupun sengaja memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan yang selalu menggoda. Amat buruklah keadaan kita bila tidak segera bertaubat dari dosa-dosa yang ada dan menutupinya dengan berbuat kebaikan. Karena perbuatan dosa itu memiliki pengaruh yang sangat jelek bagi hati dan tubuh seseorang, di dunianya ini maupun di akhiratnya kelak.

Al-Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu menyebutkan secara panjang lebar dampak negatif dari dosa. Beberapa di antaranya bisa kita sebutkan di sini sebagai peringatan:

1. Terhalang dari ilmu yang haq. Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya.
Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu belajar kepada Al-Imam Malik rahimahullahu, Al-Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i. Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini, "Aku memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pernah bersajak:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي
فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ
وَ فَضْلُ اللهِ لاَ يُؤْتاَهُ عَاصِ
“Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada Waki’
Maka ia memberi bimbingan kepadaku agar meninggalkan maksiat
Ia berkata, “Ketahuilah ilmu itu merupakan keutamaan
dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.” 1

2. Terhalang dari beroleh rizki dan urusannya dipersulit.
Takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana firman-Nya:
وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.

3. Hati terasa jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa asing dengan-Nya, sebagaimana jauhnya pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan setan.

4. Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Karena ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.
Bila kegelapan itu semakin pekat akan tampaklah tandanya di mata si hamba. Terus demikian, hingga tampak di wajahnya yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.

5. Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah manusia.

6. Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkahannya, sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya. Mengapa demikian? Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hatinya hidup. Sementara, orang yang hatinya mati walaupun masih berjalan di muka bumi, hakikatnya ia telah mati. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan orang kafir adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:
أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ
“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.” (An-Nahl: 21)
Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu kehidupannya yang dijalani karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghadap kepada-Nya, mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu, tidaklah terhitung sebagai umurnya.
Bila seorang hamba berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan maksiat, berarti hilanglah hari-hari kehidupannya yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan baginya:
يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Aduhai kiranya dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 24)

7. Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf: “Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain. Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata, ‘Lakukan pula aku.’ Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan….”

8. Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat, hingga pada akhirnya keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.

9. Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak lagi merasakan jeleknya perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.
Bila sudah seperti ini model seorang hamba, ia tidak akan dimaafkan, sebagaimana berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَََّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فيَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut2 namun di pagi harinya ia berkata pada orang lain, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Rabbnya menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Allah yang menutupi dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 7410)

10. Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perbuatan homoseksual adalah warisan kaum Luth.
Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib.
Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.
Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.

11. Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya.
Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.
وَمَنْ يُهِنِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ
“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” (Al-Hajj: 18)
Walaupun mungkin secara zhahir manusia menghormatinya karena kebutuhan mereka terhadapnya atau mereka takut dari kejelekannya, namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.

12. Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya (no. 6308) menyebutkan ucapan sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا
“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”

13. Maksiat akan merusak akal. Karena akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan kurang.
Sebagian salaf berkata: “Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hilang akalnya.”
Hal ini jelas sekali, karena orang yang hadir akalnya tentunya akan menghalangi dirinya dari berbuat maksiat. Ia sadar sedang berada dalam pengawasan-Nya, di bawah kekuasaan-Nya, ia berada di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala, di bawah langit-Nya dan para malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala menyaksikan perbuatannya.

14. Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia termasuk orang-orang yang lalai. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas: “Itu adalah dosa di atas dosa (bertumpuk-tumpuk) hingga mati hatinya.”3

15. Bila si pelaku dosa enggan untuk bertaubat dari dosanya, ia akan terhalang dari mendapatkan doa para malaikat. Karena malaikat hanya mendoakan orang-orang yang beriman, yang suka bertaubat, yang selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِيْنَ يَحْمِلُوْنَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُوْنَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُوْنَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِيْنَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيْلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ. رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ. وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, seraya berucap, ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semuanya. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha memiliki hikmah. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan pada hari itu maka sungguh telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar’.” (Ghafir: 7-9)

Demikian beberapa pengaruh negatif dari perbuatan dosa dan maksiat yang kami ringkaskan dari kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu hal. 85-99. Semoga dapat menjadi peringatan.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

1 Lihat Diwan Asy-Syafi’i (45), Al-Fawa`id Al-Bahiyyah (223), dan Syarh Tsulatsiyyat Al-Musnad (1/769).
2 Yakni tak ada seorang pun yang mengetahuinya.
3 Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an, 12/190.

Senin, 04 Juni 2012

Al Qosim bin Muhammad Tabi'in Amanah dari Madinah



                Al-Qasim yang banyak meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aslam -bekas budak Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma-, merupakan seorang tabi’in yang tsiqah (amanah). Wajar jika kemudian ‘Umar bin Abdul ‘Aziz yang dikenal sebagai khalifah kelima yang adil, tertarik akan keamanahannya. Ia berkata, “Seandainya aku punya sedikit kekuasaan, aku akan jadikan Al-Qasim sebagai khalifah.” Al-Qasim kecil sabar menjalani takdir Allah sebagai anak yatim dalam tarbiyah istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiallahu 'anha.

             Al-Qasim, yang menurut Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu 'anhuma adalah cucu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu 'anhu yang paling mirip dengan kakeknya ini, mengatakan: “‘Aisyah adalah seorang mufti wanita dari jaman Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan seterusnya sampai ia meninggal. Aku senantiasa bersimpuh menimba ilmu darinya dan juga duduk belajar kepada Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar”. Ini adalah ungkapan yang mengisyaratkan antusiasnya terhadap ilmu din (agama) meskipun menanggung beban hidup berat sebagai anak yatim.

            Ayyub, salah seorang ulama hadits, berkata, “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih utama darinya. Ia tidak mau mengambil uang yang halal untuknya senilai seratus ribu dinar”. Ini adalah ungkapan seorang alim yang menunjukkan sifat wara’ dan keutamaan Al-Qasim. Bahkan kehati-hatiannya dalam berfatwa, ia katakan sendiri, “Seseorang hidup dengan kebodohan setelah mengetahui hak Allah, lebih baik baginya daripada ia mengatakan apa-apa yang ia tidak mengetahuinya.”
Adapun ketinggian ilmunya dinyatakan oleh beberapa ulama, di antaranya:
Anaknya, Abdurrahman bin Al-Qasim, berkata, “Ia adalah manusia paling utama di jamannya.” Abdurrahman bin Abiz-Zinad berkata, “Aku tidak melihat seorang yang lebih tahu tentang As Sunnah daripada Al-Qasim bin Muhammad, dan seseorang tidak dianggap lelaki hingga ia mengetahui As Sunnah, tak seorang pun yang lebih jenius akalnya darinya.” Khalid bin Nazar (menceritakan, red) dari Ibnu ‘Uyainah, katanya: “Orang yang paling mengetahui hadits ‘Aisyah ada tiga: Al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Amrah binti ‘Abdirrahman.”
Ia pun memiliki banyak hikmah yang ia ucapkan. Al-Imam Malik berkata, “Al-Qasim didatangi seorang penguasa Madinah yang akan menanyakan sesuatu, lalu Al-Qasim berkata, ‘Berkata dengan ilmu termasuk memuliakan diri sendiri’.” Al-Qasim juga berkata, “Allah menjadikan (bagi) kejujuran, (dengan) kebaikan yang akan datang sebagai ganti dari-Nya”.

Sebelum meninggal, Al-Qasim berwasiat kepada salah seorang anaknya, “Ratakanlah kuburku dan taburilah dengan tanah serta janganlah kamu menyebut-nyebut keadaanku demikian dan demikian.”
Al-Qasim, seorang tokoh tabi’in besar yang buta matanya di akhir kehidupannya, wafat pada masa kekhalifahan Yazid bin Abdil Malik bin Marwan, dalam usia 71 tahun. Tepatnya pada tahun 107 H, sewaktu menunaikan ibadah ‘umrah bersama Hisyam bin Abdil Malik di perbatasan antara kota Madinah dan Makkah.
Walllahu a’lam.

Al Ustad Ahmad Hamdani

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=203

Hadiah Dari Iblis




Kehidupan masyarakat yang aman dan tentram merupakan dambaan setiap orang. Tak ayal jika mereka berusaha saling membantu antara satu dengan yang lainnya untuk mewujudkannya. Namun tentunya hal tersebut tidak mudah untuk diwujudkan, karena di sana ada musuh yang siap untuk menghalangi dan merusak tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.

Dan musuh terbesar bagi manusia adalah iblis la’natullah ‘alaihi. Dialah otak dari segala macam keburukan yang ada. Dia memiliki pengikut baik dari kalangan jin atau pun dari kalangan manusia. Mereka saling bantu membantu untuk menjerumuskan manusia ke dalam jurang kebinasaan, baik di dunia atau pun di akhirat kelak.



Allah subhanahu wata'ala telah menyebutkan dalam Al Quran tentang sumpah iblis la’natullah ‘alaihi untuk menyesatkan manusia. Bahkan iblis la’natullah ‘alaihi meminta kepada Allah Subhanahu wata'ala untuk ditangguhkan kematiannya sampai hari kiamat. Hal ini dikarenakan keinginannya untuk menyesatkan manusia sebanyak-banyaknya, sehingga dia akan membawa pengikut yang banyak ke dalam api neraka. Allah subhanahu wata'ala berfirman:

قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (79) قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ (80) إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ (81) قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (82) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (83)

(artinya) : Iblis berkata: "Wahai Roobku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan." Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari Kiamat)." Iblis menjawab: "Demi kemuliaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis (ikhlas) di antara mereka. (Shaad : 79-83)



Oleh karena itu, berbagai upaya pun dilakukan iblis la’natullah ‘alaihi dan bala tentaranya untuk tujuan buruknya. Di antara upaya yang mereka lakukan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah adalah dengan menyebarkan obat-obat terlarang di tengah masyarakat. Mereka menginginkan dengannya merusak fisik sekaligus hati manusia. Mereka tahu bahwa dengan obat tersebut, seseorang akan kehilangan akalnya (mabuk). Dan tatkala sedang mabuk atau ‘fly ‘ menurut istilah mereka, maka dia tidak sadar terhadap apa yang diperbuatnya. Sehingga berbagai tindak kejahatan pun berani dilakukan.



Obat-obat terlarang yang telah menyebar sangat beraneka ragam. Ada yang berupa pil, ada yang serbuk, ada yang cair dan yang lainnya. Begitu pula namanya, bermacam-macam pula, ada yang disebut extasi, ganja, sabu, dan yang semisalnya. Tidak sedikit pula dari mereka yang memberinya nama dengan nama-nama yang bagus. Namun nama tidaklah merubah hakekat dari sesuatu tersebut. Jika dia termasuk dari jenis obat-obatan yang terlarang maka dia tetap dilarang, sekalipun namanya berubah. Dan terkadang sebagian mereka memasukkan obat-obatan tersebut ke dalam makanan sehingga tidak terlihat namun masih memberi efek negatif. Dan jenis yang semacam ini jauh lebih berbahaya karena seorang tidak tahu keberadaannya.



Pada hakekatnya, obat-obatan yang semacam ini adalah termasuk dari jenis khamr. Hal ini dikarenakan pengaruh dari obat-obatan tersebut sama dengan pengaruh khamr yaitu menghilangkan akal. Bahkan pada hakekatnya lebih berbahaya daripada khamr. Sehingga walaupun bentuknya berbeda-beda, tapi sama fungsinya (pengaruhnya), maka dia dihukumi dengan yang semisalnya. Oleh karena itu dalam hukum pun sama, yakni diharamkan.

Allah subhanahu wata'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (90)

(artinya) : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khomr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Al Maidah : 90)



Berkata Asy Syaikh As Sa’di : maka sesungguhnya keberuntungan itu tidak sempurna kecuali dengan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wata'ala. Terlebih khusus lagi fahisyah (hal-hal yang dilarang) yang disebutkan dalam ayat ini.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:

ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ ».

(artinya): Allah subhanahu wata'ala melaknat khamr, peminumnya, yang memberi minum, yang menjualnya, yang membelinya, yang membuatnya, yang minta untuk dibuatkan, yang membawanya dan yang dibawakan. (HR. Abu Dawud no.3676 dari Ibnu Umar)



Dari ayat dan hadits diatas, jelas sekali menunjukan bahwa khamr merupakan hal yang diharamkan. Didalam ayat Allah subhanahu wata'ala memerintahkan untuk menjauhinya. Dan perintah untuk menjauhi itu lebih tegas daripada sekedar larangan. Terlebih lagi dalam hadits disebutkan laknat terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan khamr.



Dalam mempromosikan obat-obat terlarang, sindikat penjahat psikotropika dan sejenisnya menggunakan berbagai cara untuk menjangkau pangsa pasar dari berbagai kalangan. Dari kalangan muda sampai yang tua bahkan anak-anak, mereka jadikan korban. Mereka juga tidak memandang kaya ataukah miskin. Apabila dari kalangan berpunya, maka bisa mereka jadikan sebagai konsumen atau pun sebagai agen. Dan apabila dari kalangan bawah maka bisa mereka jadikan sebagai pengedar atau yang lainnya.



Pada umumnya, pengonsumsi obat-obatan terlarang ini adalah dari kalangan yang tidak memiliki pegangan hidup. Dikarenakan ada masalah yang sedang dihadapi dan gagal dalam mencari jalan keluarnya, mereka pun mencoba mencari ketenangan semu. Sehingga akhirnya memakai obat-obatan terlarang tersebut sebagai pelarian. Namun, sebenarnya mereka telah salah langkah. Ketenangan yang didapatkan darinya, hanya bersifat sementara. Bahkan akibatnya jauh lebih berbahaya .



Di antara faktor yang lain, yang menyebabkan seorang memakai obat-obatan terlarang tersebut adalah teman yang buruk. Tidak sedikit dari mereka yang terbawa oleh temannya akhirnya menjadi pecandu obat-obatan terlarang. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai pembimbing umatnya, telah menjelaskan bahaya dari teman yang buruk. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menganjurkan untuk berteman dengan teman yang baik.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:

عَنْ أَبِي مُوسَى ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً.

(artinya) : sesungguhnya perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk, seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan tukang las. Adapun pembawa minyak wangi, adakalanya dia akan memberi (minyak wangi) kepadamu, adakalanya kamu bisa membeli (minyak wangi) darinya, atau kamu bisa mendapati darinya bau yang harum. Adapun tukang las, bisa jadi dia akan membakar bajumu, atau engkau akan mendapati darinya bau yang busuk. (HR. Al Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 6860 dari Abu Musa)



Kurangnya perhatian orang tua kepada anaknya, juga merupakan salah satu faktor penyebab sang anak berani memakai obat-obatan terlarang. Banyak di antara orang tua yang menyangka bahwa dengan memberikan uang kepada anak itu sudah cukup. Sehingga pada akhirnya mereka hanya sibuk mencari uang dan tidak memperhatikan anaknya. Padahal anak membutuhkan perhatian dan juga kasih sayang dari orang tuanya. Bahkan hal ini lebih mereka butuhkan daripada sekedar uang. Allah subhanahu wata'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)

(artinya) : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At Tahrim : 6)



Dan perlu diketahui pula bahwa efek negatif dari obat-obatan terlarang sangatlah banyak. Bagi pemakainya sendiri, dia akan terjangkiti berbagai macam penyakit. Seperti depresi, gangguan liver, sulit tidur, kerusakan saraf otak, tulang keropos, kejang-kejang, dan yang lainnya. bahkan tidak sedikit dari mereka yang meninggal dikarenakan obat-obatan terlarang tersebut.



Dan dari pengaruhnya pula, akan muncul berbagai macam tidak kriminal. Tidak sedikit dari mereka yang mengonsumsi obat-obatan tersebut, menjadi berani untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran syariat. Sebagai contohnya adalah zina. Sudah terlalu banyak kasus perzinaan atau pemerkosaan dilakukan oleh orang-orang yang mengonsumsi obat-obatan tersebut. Padahal Allah subhanahu wata'ala telah melarang dari perbuatan tersebut, sebagaimana dalam firmanNya:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا (32)

(artinya) : Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (Al Isro’ : 32)



Diantara tindak kriminal yang lainnya pula, ketika seorang menggunakan obat terlarang adalah terjadinya pembunuhan, baik karena ada niat dari pelakunya atau pun tidak. Hal ini disebabkan orang yang memakai obat-obatan tersebut, pada hakekatnya telah kehilangan kendali dirinya. Sehingga berbagai tindakan dia lakukan tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Dan membunuh jiwa merupakan hal yang dilarang oleh Allah subhanahu wata'ala, sebagaimana dalam firmanNya:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا (33)

(artinya) : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (Al isro’ :33)

Inilah beberapa efek negatif yang timbul disebabkan obat-obatan terlarang. Dan disana tentunya masih banyak lagi yang lainnya. Seorang yang telah mengetahui akan bahaya sesuatu, maka tentunya dia akan menjauhi sesuatu tersebut. Seorang penyair mengatakan (yang artinya) : “aku mengetahui keburukan bukan karena aku ingin mengamalkannya, akan tetapi untuk menjauhkan diri darinya. Barangsiapa yang tidak mengetahui perbedaan keburukan dari kebaikan, maka dia akan terjatuh kedalamnya.”



Di antara upaya yang bisa dilakukan untuk menjauhkan diri dari obat-obatan tersebut adalah dengan mempelajari agama. Dengan agama, seorang akan terbimbing langkahnya dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Berbagai masalah yang dihadapi, akan dia temukan jalan keluarnya. Demikian pula ketenangan hidup, akan ia temukan.



Peranan orang tua dalam membimbing putra-putri mereka juga sangat dibutuhkan. Terlebih lagi di waktu sekarang ini, fitnah dan godaan serta tantangan hidup sangat banyak. Apabila para orang tua mampu untuk menjaga dan membimbing anak-anak mereka, maka akan muncul keluarga-keluarga yang baik. Dan pada akhirnya, akan terbentuk suatu masyarakat yang baik pula. Oleh karena itu dibutuhkan adanya saling tolong menolong dalam mewujudkan hal ini. Allah subhanahu wata'ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2)

(artinya) : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Al maidah :2)



Maka hendaklah masyarakat saling memberikan nasehat dan peringatan untuk menjauhi obat-obatan terlarang ini. Mulailah dari kerabat yang paling dekat, seperti anak, saudara, dan yang lainnya. Dan bagi yang mengetahui ada yang menyimpan atau memakai obat-obatan tersebut, hendaklah dia melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Semoga dengan adanya tolong menolong antara satu dengan yang lainnya, akan terwujud nantinya masyarakat yang baik yang bebas dari obat-obatan terlarang. Sehingga ketenangan dan kedamaian akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.



Dan bagi siapa saja yang pernah terjerumus dalam obat-obatan terlarang , hendaklah dia bertaubat kepada Allah subhanahu wata'ala dan berusaha untuk memperbaiki dirinya. Janganlah dia berputus asa, dan menganggap tidak ada gunanya lagi taubat. Allah subhanahu wata'ala telah berfirman dalam Al Qur’an:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)

(artinya) : Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az zumar : 53)

Sebagai penutup, renungilah firman Allah Subhanahu wata'ala ini:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

(artinya): Dan Robbmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagimu.” (Ghofir : 60)



Maka hendaklah kita senantiasa berdoa kepada Allah subhanahu wata'ala untuk dijaga dari segala macam perbuatan yang menyelisihi syariat. Dan semoga Allah subhanahu wata'ala memberikan kepada kita keistiqomahan (ketetapan) di jalanNya yang lurus. Wallahu a'lam.





Oleh : Abu 'Ali Abdus Shabur

Muroja’ah : Al-Ustadz Abu Karimah Askari.
http://www.salafybpp.com/5-artikel-terbaru/203-hadiah-dari-iblis.html

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes